Minggu, 26 Juni 2016

Kebaikan Satu Melahirkan Kebaikan yang Lain. Pengalaman mengesankan waktu SMP..

Kebaikan... hanya sebuah kata biasa yang mampu mempunyai dampak yang luar biasa. Aku bahkan percaya, satu kebaikan dapat membawa kebaikan yang lain. Bahkan, kebaikan beserta ketulusan. Betapa damainya hati ketika hanya membayangkan dua hal tersebut. 
Ada yang mengatakan kebaikan kecil. Kebaikan seperti apakah? Apakah yang mungkin remeh? Apakah yang mungkin 'ah cuma gitu aja', tapi kita semua pada akhirnya nggak tau, dampak apa yang ditimbulkan dalam sebuah 'kebaikan kecil' itu. Aku bukanlah orang baik, aku harus banyak belajar. Aku hanya menceritakan pengalamanku, yang tidak aku lupakan selama bertahun-tahun. 

Cerita ini dimulai saat aku SMP. Aku waktu itu adalah seorang siswa SMP yang terletak di tengah kotaku. Aku siswa SMP yang masih polos yang bahkan tidak tahu apa arti lelaki 'hidung belang' yang dilontarkan teman sebangkuku, yang bahkan aku mengartikannya secara harfiah dengan melihat hidung seorang laki-laki yang berakhir dengan kebingungan dimanakah letak belangnya. Aku menganggap diriku sebagai orang yang masih ingusan baru keluar dari SD, yang masih jaman lari-larian waktu main betengan, yang masih takut ditaksir cowok disaat beberapa temanku sudah ada yang berpacaran.

Aku waktu itu suka sekali mengikuti kegiatan, bahkan setiap hari aku pulang sore, karena aku suka 'sok sibuk', aku tidak bisa tinggal diam. Dari mulai karate, pramuka dan sebagainya petugas apalah yang aku lupa, setiap hari selalu pulang sore sampai akhirnya ekstrakulikuler itu rontok satu persatu :D 

Suatu ketika aku mengikuti latihan baris-berbaris untuk karnaval 17 Agustus-an.  Aku ingat sekali waktu itu dari pagi jam delapan di hari libur, ayah sudah mengantarku sampai di sekolah untuk latihan baris-berbaris.  ayah kemudian menungguku di mushola di dalam sekolah kemudian mengatakan nanti akan menunggu di depan sekolah sambil mencari warung untuk makan siang ketika jeda sebentar dan aku melewati mushola.

Siangnya, kami diijinkan untuk beristirahat sejenak. Aku segera keluar dari sekolah dan melihat ayahku sedang duduk di seberang jalan sambil berbincang dengan ibu-ibu penjual dawet dan anaknya yang masih kecil dalam gendongan. Ibu itu berjualan di samping pohon kecil yang tidak begitu rindang. Entah kenapa melihat ibu itu rasanya kasihan, sudah panas, bersama anaknya, dagangannya sepi pula (hanya ada ayah). Sejujurnya aku baru pertama melihat penjual dawet itu. dengan berlari aku menyeberang jalan ketika sepi untuk segera menuntaskan dahagaku. Kulihat ibu-ibu penjual dawet itu tampak gembira melihat pelanggannya bertambah. Ayah menawariku untuk membeli makanan tapi segera kutolak karena takut perutku sakit kalau nanti langsung baris-berbaris.  Sesegera setelah hausku tuntas, aku berlari kembali ke dalam sekolah.

Beberapa minggu minggu kemudian waktu masuk sekolah, seperti biasa aku pulang sore. Aku meminta tolong temanku untuk meng-sms ayah untuk menjemputku. Aku memang belum mempunyai hp waktu itu, hp pertamaku kudapat saat kelas 3 SMP (bahkan disaat sekarang anak-anak kecil balita pun sudah menggenggam hp yang berkali-kali lipat lebih canggih dari punyaku). Jawaban sms dari ayah menyatakan kalau tidak bisa menjemputku waktu itu. Kemudian aku balas tidak apa-apa, aku akan membonceng teman.

Padahal kalau boleh jujur, tidak semua siswa yang rumahnya searah mengikuti ekstrakulikuler sama denganku. Kalau ingin naik angkutan, mana ada aku uang sisa, ini juga sudah jam lima lebih, sudah tidak ada angkutan lewat. Aku memang pulang ke rumah nenek karena rumahku lebih jauh lagi. Rumah nenek sampai sekolah kira-kira jaraknya lima kilometer lebih. Entahlah, lima, enam atau berapapun itu, aku sudah pernah berjalan kaki untuk pulang bahkan di siang yang terik. Bahkan seorang teman yang baru aku kenal pun mengetahui aku dengan pernyataan,"Kamu kan yang dulu jalan jauh banget pas pulang sekolah, kan?" Ya, itu benar. Bukan apa, kalau ada teman yang bisa ditebengi aku ikut, kalau ada uang aku naik angkutan. kalau tidak ada semua ya jalan. Tidak harus menunggu, jujur aku tidak suka menunggu dan tidak suka diam.

Saat itu kemudian ku tekadkan untuk jalan, jam setengah enam petang, dari sekolah sampai ke rumah mbah, dalam keadaan gerimis dan jalanan mulai sepi. Sampai di perempatan jalan pertama, aku melihat sosok yang sepertinya aku kenal sedang naik sepeda berlawanan arah denganku. Dia menggendong anaknya dengan jarit dan menutupi kepala anaknya agar tidak kehujanan. lama aku mengingat karena ibu itu menatapku dengan senyum kemudian terheran. Dan aku pun ingat. Ya benar, dia adalah penjual dawet yang ada di depan sekolahku, yang ternyata setahuku sudah tidak berjualan lagi disana. Jadi kalau jadi ayah, mungkin itu yang pertama dan terakhir membeli di tempat itu. 

"Lo mau kemana, nduk? Hujan-hujan kok jalan?" Ibu itu bertanya setelah menghentikan laju sepedanya. Kami berdiri berseberangan jalan. 
"Mau pulang bu," jawabku.
"La bapaknya kemana? Rumahnya mana?" tanya ibu itu.
"Bapak nggak bisa jemput, rumahnya di dekat pasar cuplik sana bu," ucapku sambil menunjuk arah barat dari posisi kami. Tanpa menjawab ibu itu segera menyeberang jalan.
"Ayo bonceng ibu, nanti ibu suruh saudara ibu untuk mengantarmu naik motor. Rumah ibu tidak jauh dari sini, ini juga sudah malam,"
Aku berpikir sebentar. 
"Ayo," ajak ibu lagi. Dengan ragu aku menaiki boncengan dan membiarkan ibu penjual dawet tersebut menuju rumahnya yang masih aku ingat sampai sekarang letaknya. Di dalam rumah, ibu itu menemui seorang laki-laki dewasa dan menyuruhnya untuk mengantarku sampai ke rumah mbah. Bahkan ibu itu bilang, aku yang dulu membeli dawet di tempat ibu bersama ayahku. Ya ampun ibu, aku juga baru sekali dan sekilas itu datang kenapa engkau masih mengingatku? Laki-laki yang merupakan adik dari ibu tersebut menyanggupi dan kemudian mengantarku pulang setelah berpamitan dan mengucapkan terimakasih. Yang aku ingat, laki-laki itu memakai baju batik putih dengan corak merah tua. Ia mengantarku sampai ke rumah mbah. 
.
.
Entah kenapa, memori ini begitu menempel di kepalaku, pengalaman yang paling berkesan. Dari seorang ibu penjual dawet yang sangat senang ketika ayahku membeli dawet, dan ingat padaku yang apalah aku bagaikan cuilan rempeyek yang sudah melempem. Apa sebegitu berartinya waktu itu sehingga masih mengingat? Beberapa minggu bukan waktu yang sebentar. kalau ramai pembeli, akankah penjual mengingat detil siapa saja yang membeli dagangannya walau hanya sekali dan sesaat? Bukankah kami tidak saling kenal? Lebih dari itu aku tak ingin memikirkannya. Yang aku pikirkan. Ibu itu baik. Sangat baik. Mungkin beliau menganggap biasa, tapi kebaikan yang mungkin baginya itu biasa, berdampak besar bagiku. Begitu menyentuh. Aku jadi mengerti arti ketulusan, tolong menolong, entahlah, sulit menjelaskan. Seakan kebaikan itu berantai, satu kebaikan melahirkan kebaikan yang lain. Dari ayah, ibu penjual dawet dan sekarang giliranku untuk menjadi bermanfaat dengan menyebar bibit kebaikan. Iya, benar. Kebaikan itu berdampak. Mungkin pendapat orang ceritaku sangat biasa, tapi lebih dari itu dampaknya yang begitu luar biasa. Sangat berterimakasih pada Tuhan mempertemukanku dengan ibu itu :)

Aku tidak akan melupakannya. bahkan sebuah ide untuk  menemui ibu itu muncul begitu saja, tapi... sebagai apa? Entahlah, masihkah ibu itu disana aku juga sudah lama tidak melewati rumah itu. Semoga dimanapun ia berada, kebaikan selalu melingkupinya. Aamiin.

27 juni 2016
catatan dari seorang yang tersentuh hatinya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar